Amnesty
International dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(KontraS) menagih janji pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengakhiri
impunitas di Aceh dengan memenuhi tuntutan-tuntutan para korban pelanggaran HAM
sebelum masa jabatannya berakhir pada Oktober 2014.
Sebab
telah sembilan tahun sejak perjanjian damai Helsinki 2005 ditandatangani,
pemerintah belum memenuhi kewajibannya untuk memastikan kebenaran, keadilan dan
reparasi atas pelanggaran-pelanggaran HAM. Termasuk belum adanya pembentukan
komisi kebenaran di Aceh.
Penundaan
yang berkelanjutan dan tidak adanya kemauan pemerintah untuk membentuk komisi
ini telah memperpanjang penderitaan para korban dan keluarganya. Padahal mereka
mengingatkan komisi itu bagian penting dari perjanjian tersebut. Padahal akhir
tahun lalu setelah ada desakan oleh kelompok dan organisasi korban pelanggaran
HAM, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah mengesahkan qanun Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.
"Namun
demikian, hingga saat ini tidak ada kemajuan dalam implementasi qanun
tersebut," tulis Josef Roy Benedict Campaigner Indonesia &
Timor-Leste, dari Amnesty International dalam rilisnya kepada Gresnews.com.
Disisi lain Amnesty International dan KontraS mengetahui Kementerian Dalam
Negeri juga menentang pembentukan komisi ini.
Para
korban konflik Aceh hingga saat ini terus meminta kebenaran tentang
pelanggaran-pelanggaran HAM yang mereka derita. Ribuan orang masih tidak tahu
nasib dari orang-orang hilang yang dicintainya. Sementara sedikit sekali
kasus-kasus konflik Aceh yang telah diinvestigasi dan tidak ada satu pun kasus
pelanggaran HAM yang dibawa ke pengadilan sejak 2005.
Padahal
kegagalan mengadili mereka yang diduga melakukan pelanggaran HAM, punya
konsekuensi besar bagi supremasi hukum di Aceh hari ini dan akan warisan
kekerasan terus bertahan. Untuk itu Amnesty Internasional dan Kontras mendesak
Komnas HAM segera menyelesaikan penyelidikan pro-justicia yang sedang
dilakukannya. Seperti kasus Simpang KKA 1999 di Aceh Utara ketika militer
menembak mati 21 pengunjuk rasa dan kasus Jamboe Keupok di Aceh Selatan di mana
empat orang ditembak mati dan 12 orang dibakar hidup-hidup oleh serdadu militer
pada Mei 2003.
Mereka
juga meminta ketika kasus tersebut diajukan ke Kejaksaan Agung, kasus tersebut
harus benar-benar disidik tanpa intervensi kepentingan politik. "Dampak
dari intervensi politik terhadap kasus HAM Aceh, hasil investigasi pemeritah
dan Komnas HAM terkait pelanggaran-pelanggaran HAM tak pernah dibuka ke publik
atau dibawa ke pengadilan," tambah Josef.
Mereka
menilai salah satu langkah kunci yang bisa ditawarkan untuk menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM ini, presiden diakhir jabatannya menyampaikan pernyataan maaf
kepada publik dan resmi kepada para korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
pasukan keamanan Indonesia dan tenaga-tenaga pembantu mereka di Aceh.
Amnesti
Internasional dan Kontras mencatat Konflik Aceh antara Gerakan Aceh Merdeka
dengan pemerintah Indonesia yang berlangsung sejak 1975 dan memuncak selama
operasi militer dari 1989 hingga 2005, telah merenggut korban jiwa
10.000-30.000 orang.
Sumber : JAKARTA|GRESNEWS.COM
0 comments :
Post a Comment
Kebebasan yang kami berikan adalah komentar pengunjung tidak terbatas, selagi menghormati SARA. kesan dan saran sangat kami butuhkan, karena melalui media blogspot ini, pengguna bermaksud ingin memberikan apa-pun informasi yang harus diketahui publik. atas kunjungannya, pengguna ucapkan terima kasih....